Showing posts with label 24 hari menulis kisah Jam Dinding. Show all posts
Showing posts with label 24 hari menulis kisah Jam Dinding. Show all posts

Thursday, June 9, 2011

19.00 WIB

Sunyi senyap. Terdengar suara kincir hamster sedang berputar-putar di lantai bawah. Hamster berlari di tempat. Dan tempatnya terus berputar. Aku tidak ingin menjadi hamster. Aku cinta aku yang manusia.

Sementara di lantai atas, di ruang sebelah kamar baca, musik berbagai aliran terus melarung di lorong-lorong ruangan atas. Tidak seperti bisikan tapi benar-benar menggelegar dua pasang telinga yaitu telingaku dan telinganya. Aku mencintai musikmu.

: Kuncinya Bmol, A, dan C.

Friday, May 6, 2011

18.00 WIB

Petang.
Membentang.


Di jeda rutinitas petang ini, aku lebih memilih duduk berdiam dari kelelahan. Ini lah masa kritisku di saat aku dituntut untuk berpikir. Entah pantas disebut berpikir atau sedang mengenang, aku tidak paham. Yang pasti aku masih belum tidur untuk melupakan semuanya. Petang ini, hanya berdiam saja dari rutinitas. Diam. Di-am. D i a m. Jika berbicara rasanya ingin muntah. Mual-mual, tapi tak ada yang keluar. Menggantung di tenggorokan, sesak di dada, dan bergumul di dalam perut. Haruskah aku ke dokter? Ha-rus-kah? H a r u s k a h ?

Menunggu tiga puluh menit kemudian untuk memastikan suara adzan kali ini akan tetap terdengar, dan kita tetap memilih berdiam. Lelah sekali.

Berpikir:
Tentang mereka mengapa selalu memilih untuk bercerita yang realistis. Tentang mereka mengapa begitu hebat?

Mengenang:
Satu per satu aku lupa, padahal aku ingin selalu mengingat tentang mereka.

Kalau orang selalu bilang, "Jadilah diri sendiri!". Kali ini aku balik, "Cobalah jadi seperti orang lain!".

Sunday, April 17, 2011

17.00 WIB

Satu jam yang lalu, aku sudah bisa menyentuhnya kembali. Bau tubuhnya kembali merasuk hidungku untuk menjadi obat penenang penatku. Dia belum mandi sudah dua hari.

Walau sudah sore, tapi sengatan sinar matahari masih bisa dianggap berani. Tak jadi aku duduk-duduk di teras depan karena sinar matahari masih bertahta. Aku hanya bisa mengintip takut-takut dari punggung jendela. Ingin benar aku bermain-main di teras depan rumah. Tapi..

Ya, aku baru ingat sesuatu yang terlupakan sejenak. Sepertinya teras depan rumahku sudah tidak menyukaiku lagi. Dia sudah lebih senang didatangi sinar sang Raja daripada aku. Makanya akhir-akhir ini sang Raja betah berlama-lama bercanda bersama teras depan rumah. Aku cemburu. Jendela pun sudah malas menjadi tempat aku bersembunyi untuk memantau teras depan.



Semakin aku memikirkannya, semakin aku serba bersalah. Lebih baik aku ke kamar mandi saja sekarang.

: Yank, udah belum pakai kamar mandinya?

Sunday, April 10, 2011

16.00 WIB

Di sini lah aku menunggu-nunggu. Pergeseran waktu membuat aku semakin diam tak menentu. Simpang empat yang melelahkan jika kupandangi terus-menerus. Tapi, aku akui memang keramaian pada saat itu lah yang menjadi teman.

Sudah hampir setengah jam dari sejak pemberitahuan kalau kita akan bertemu. Belum juga datang-datang. Rasa yang dirasa menjadi campur baur. Haruskah begitu? Baiknya aku bisa menahan rindu yang sebentar lagi akan menetas. Rasakan pecahannya. Pasti menusuk-nusuk.

Lelah mata ini memandang simpang empat yang meraung-raung. Menunduk lah aku agar tidak cedera mata. Saat menunduk itu, ada suaranya.

: Yank!

Dia datang dan tersenyum padaku. Salah memang jika aku harus berlari. Jarak pisah hanya dua meter. Norak aku.

Sunday, April 3, 2011

15.00 WIB

Nah, pergi lah aku ke tempat dia seorang. Dengan harap-harap cemas, terbayang olehku bagaimana penyambutan nanti akan terjadi. Tak seharusnya memang aku bermain pikiran di dalam perjalanan. Kata nenek, banyak orang jahat di jalan. Berhati-hati lah kau, Nak. Begitu katanya.

Banyak tempat yang sudah entah berapa kali aku lewati. Bosan mata itu-itu saja yang ditengok. Tak ada kiranya Pemerintah setempat untuk sedikit kreatif dengan kota tanpa merusak bumi? Apa lah artinya, kreatif tapi merusak?

Hampir lima puluh menit ditempuh. Peluh berlari-lari sementara sejuk angin menjalari. Sedikit lagi pertemuan itu akan terjadi. Aku penasaran dengan permulaannya. Adakah senyum yang aku dapatkan?

Nah, kita tunggu saja lah!

14.00 WIB

Selama satu jam biasanya aku masih menunggu pengharapan. Tak masalah jika nantinya ternyata mengecewakan. Tapi, siapa yang sangka kalau selama ini aku selalu berharap untuk selalu kecewa! Benar-benar membingungkan menjadi seorang pendiam rupa. Ya, siapa sangka!


Biasanya di menit-menit begini, aku terkapar menjelajahi dunia orang. Malas benar aku bangkit. Padahal menggeser pantat sesenti pun tak juga ingin. Parah memang benar-benar di puncak. Jika begitu, jangan salahkan malaikat dan setan jika ragu-ragu datang menghampiri. Ragu-ragu mengetuk hatiku agar aku tetap di tempat, tidak kemana-mana, apalagi hanya untuk bertemu denganmu. Tapi, cinta dan setangkup rindu ternyata bisa melenyapkan ragu-ragu. Aha, hanya dibutuhkan sebuah keyakinan saja, Tuan.

Tepatnya setelah satu jam kemudian, aku pun bergegas pergi dan mendapati dunia luar ternyata ribut bagai kadang ayam petelur.

Dalam perjalanan, kusuguhkan pikiranku dengan lamunan-lamunan. Apa kiranya yang akan terjadi dalam pertemuan? Mari kita bermain tebak-tebakkan, Tuan.

Friday, April 1, 2011

13.00 WIB

Di kesempatan ini, aku masih memilih menunggu namamu datang kepadaku. Tak aku hitung berapa banyak biji hujan yang jatuh di kota Medan selama menunggu namamu datang kepadaku. Yang aku rasa bahwasanya setiap biji hujan yang jatuh akan menumbuhkan kerinduan yang semakin suburnya selama menunggu namamu datang kepadaku. Maka, lebihkan biji hujan itu, Tuhan!

Sering emosi yang tak berarti berubah menjadi emisi. Karena tak bisa sabar. Padahal sabar itu banyak buahnya.

Aku lihat sekarang namamu sedang melayang-layang pelan menuju kejatuhannya di pangkuanku. Aku pungut. Dan kau pun berkata..

: Ayank, lg dmn?

Tuesday, March 15, 2011

12.00 WIB

Di saat ini aku mencari kamu, di mana?
Di saat ini aku gelisah menunggu, kapan?
Di saat ini aku cemburu, siapa?
Di saat ini aku memaku, mengapa?
Di saat ini aku bertanya, apa?

Wednesday, March 9, 2011

11.00 WIB

Ada kalanya menghentak-hentakkan kaki ke lantai sebagai tanda berontak.
Atau, memang begitu harusnya?
Tanpa disadar, air hujan pun terbit dari selangkangan moncong tak bertanduk.
Kupikir, mungkin ini pertanda jika aku pergi maka bunuh dirilah dia.

Duduklah aku di sampingnya.
Aku lihat kali ini air mata setelah air hujan.
Dia tarik sarungku yang sedikit bau kemenyan.
Tapi, bibirnya tidak menajam.
Heran, justru merapat dalam kuluman.

Aku bisikan cerita nenek moyang seorang kapitan.
Dia menggeleng-geleng dengan hampir empat ketukan.
Aku bingung walau masih ada senyum satu sulaman.
Sedangkan dia, aku tebak sedang menyusun raungan.

Oh, air hujan!
Mengapa kau harus terbit dari selangkangan?
Bukankah kau selalu ada di dalam, tenggelam, tergenang, melayang, tanpa pegangan?
Bukan aku meminta jawaban.
Tapi, hanya pengertian tanda bujuk tanpa perjanjian.
Nah, sekarang aku minta punya kamu tanda tangan.
Di sini! Di sini kamu bubuh, air hujan.









Jangan menangis lagi...




Monday, January 31, 2011

10.00 WIB


Ya, aku sudah bangun dari tiga puluh menit yang lalu. Sudah aku katakan aku pasti akan bangun di menit ke tiga puluh. Tapi, kamu tidak percaya. Sekarang, baru kamu percaya. 

Masih di atas tempat tidur untuk mengingat apa yang aku mimpikan tadi. Arrgh..ternyata aku lupa. Aku kecewa karena tidak bisa melihat mimpiku kembali. Mungkin Tuhan tidak sengaja menekan tombol "hapus" atau dalam bahasa Inggrisnya "delete". Hihihihi..

Aku lapar. Aku mau makan. Setelah itu lanjut untuk membaca dan menulis. Jemuran di belakang sedang mengerang kepanasan. Untung aku bukan jemuran!

Sunday, January 30, 2011

09.00 WIB

Aku masih tidur. Sebaiknya jangan kamu ajak aku untuk menonton film di ruang tengah rumah ini karena aku juga sedang menonton film di dalam mimpi tidurku. Maafkan aku, bukan maksud tidak menganggap kamu, tapi bagaimana mungkin aku bisa menonton film sekali dua? Nanti aku jadi tidak paham.

Sebentar-sebentar aku terbangun oleh bunyi pintu ruang tamu yang entah siapa yang buka. Aku tidak peduli. Terlalu asik dengan cerita filmku sendiri. Kalau misal aku mati dalam kondisi sedang bermimpi dalam tidurku, tolong jangan dihapus segala rekaman mimpiku. Mana tahu saja saat aku sudah di bawah tanah nanti aku ingin memutar kembali semua rekaman itu, mungkin saja ada kamu di dalamnya. Tolong kamu ingat ya. Jangan lupa lho.

Sekarang, beri aku waktu tiga puluh menit lagi untuk melanjutkan tontonan filmku ini. Biasanya aku akan bangun di menit ke tiga puluh. Percayalah!

Saturday, January 29, 2011

08.00 WIB

Saatnya tidur kembali setelah semua orang pergi beraktivitas dan aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumahku. Biasanya aku akan selalu terbangun di jam 09.30 WIB. Baiklah, jika kalian mengatakan aku adalah perempuan malas karena memilih tidur kembali bukannya beraktivitas yang lain. Tapi, hei...aku sudah selesai mengerjakan semua kewajibanku. Tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan selain tidur. Kebetulan mataku pun mengantuk. 

Alasan yang lebih kuat mengapa aku ingin tidur di jam segini karena mimpi-mimpi yang datang lebih keren dari pada mimpi di saat tidur sebelum subuh. Pernah aku bermimpi tentang asrama pohon yang besar dan tinggi sekali. Daunnya hijau pekat. Semua kamar mahasiswa tidak perlu diberi pondasi. Dia melekat sangat erat di tubuh pohon raksasa itu sampai ke pucuk pohon, bahkan aku ragu pohon itu mempunyai pucuk. Setiap kamar dihuni oleh empat laki-laki dan dua perempuan. Tunggu dulu. Jangan langsung protes. Mereka tidak gabung dalam satu tempat. Mereka hanya satu dinding kamar saja. Satu kamar mempunyai dua pintu. Pintu yang di depan, tempat masuknya laki-laki. Pintu di sisi kanan kamar, tempat masuknya perempuan. Dari pintu menuju ruang kamar harus melewati lorong panjang serupa labirin. Bisakah kalian membayangkan sebesar apa kamar mereka? Aku ingin sekali tinggal di asrama seperti itu.

Di hari yang lain dan di saat yang sama, aku juga pernah bermimpi bertemu dengan Romo. Romo mengenakan kaos merah. Dia mengajakku jalan-jalan ke Gramedia. Katanya nanti dia menjemputku. Kulihat di mimpi itu kami masuk ke Gramedia yang ada di SUN Plaza. Setelah aku terbangun, siangnya aku dapat pesan dari Romo kalau dia akan menjemputku. Entah hendak kemana, aku tidak tahu. Saat dia menjemputku, aku lihat dia memakai kaos merah seperti di mimpiku. Aku menebak-nebak apakah kami akan ke Gramedia? Aku tak menanyakannya. Aku ingin kejutan. Ternyata benar kami ke Gramedia. Tapi, bukan yang di SUN Plaza, melainkan yang di Palladium. Hehehehe...
 
Mimpi yang lain lagi. Saat itu aku punya agenda bahwa siangnya aku ingin mengirim paket ke Solo. Aku tidur seperti sekarang ini pada jam yaaa...sekitar jam segini. Aku bermimpi ada yang berbicara kepadaku. Dia mengatakan kepadaku lebih baik paket itu dikirim lewat pos saja, jangan lewat TIKI. Hah, karena aku terlalu mencintai mimpiku, maka paket itu aku kirim lewat pos. 

Begitulah sebagian mimpi yang masih aku ingat. Mimpi itu menjadi tempat tersendiri untuk kehidupanku yang lain di saat tubuhku sedang beristirahat. Sangat menarik. Bagaimana dengan cerita mimpimu?

Friday, January 28, 2011

07.00 WIB


Aku membenci Spongebob Squarepants, dulu. Alasannya karena aku tidak paham apa maksud dari cerita yang ingin disampaikannya. Menurutku gambarnya juga jelek. Dan, Spongebob adalah tokoh yang sangat menyebalkan dan cerewet. Aku benci dia.

Sekarang, justru aku menontonnya setiap pagi. Kali ini aku menganggapnya dia adalah tokoh yang paling bodoh. Aku heran geleng-geleng kepala kenapa ada makhluk seperti itu. 

Andai saja pagi tidak menjelang, mungkin Spongebob pun tidak harus datang. Walau aku menontonnya, aku tetap tidak menyukainya. Aku benci dengan suaranya yang hampir mirip dengan...suaraku! Ya, kamu benar. Aku benci Spongebob juga karena menganggap itu lah aku. Huh! Aku begitu berlebihan.

Kalau kamu tanya kepadaku siapa tokoh yang paling aku suka di film itu, aku akan menjawab aku menyukai Squidward Tentacles. Kami sama-sama penyuka seni. Jangan protes!!!

Thursday, January 27, 2011

06.00 WIB


Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Jika bisa kubunuh matahari, akan aku tiup apinya sampai menjadi abu. Kemudian akan aku buang abu kesombongannya ke ujung tata surya agar membeku tanpa ada yang tahu.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Terkutuklah bulan yang selalu mengalah untuk bersembunyi menghadapi manusia. Akan aku kejar sampai kau mengatakan lelah itu bukan untuk mengalah apalagi kalah. Jika bisa kutangkap, akan aku suruh bulan berdiri kembali untuk menggantikan matahari di pagi hari.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Menjelmalah kalian wahai kunang-kunang menjadi bintang penerang siang. Kita sudah bunuh matahari, jangan kalian lari. Menarilah sesuka hati di atas langit untuk menerangi kami yang tidak pernah sudi pada matahari.

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Aku ingin Tuhan mengulang kembali penciptaan. Padamkan matahari dan angkatlah bulan menjadi raja. Bulan tak butuh surya karena dia lah satu-satunya cahaya. Harusnya begitu dan jangan begini. 

Aku benci pagi karena malam lebih bersahabat.
: Tahukah kamu bahwa Tuhan sudah menandatangani kontrak dariku?



Selamat datang, Bulan!
Selamat datang, Malam!

Wednesday, January 26, 2011

05.00 WIB


Setiap malam selalu disuguhi untuk memimpikan kamu. Entah apa sebab, aku tidak tahu. Katamu mungkin aku terlalu obsesi kepadamu. Ah, tidak tuh! Bukan menyangkal, tapi itu memang kenyataannya, kalau aku tidak obsesi kepadamu. Aku sudah mempelajari bagaimana seharusnya memperlakukan kamu. Yaitu bukan dengan posesif kepadamu. Iya, bukan? Iya kan saja lah.

Sebelum aku diizinkan untuk harus sadar dari tidurku oleh Tuhan, telingaku akan tetap terus tertutup. Ah, mungkin aku sedang mencari-cari pembenaran perihal telatnya aku bangun, hahaha..
Jendela kamarku ada gordennya. Akan selalu melambai-lambai jika angin menerobos lembut menggoda aku. Ujung-ujungnya aku semakin meringkuk tanpa bentuk di balik selimut merah. Aku bermusuhan dengan dingin. Masih ingat 'kan dengan puisiku yang judulnya "aku, dingin, dan selimut merah" ? Huh, aku benci dingin! Maaf..

Lain kali jangan menggodaku di waktu subuh, dingin. Kesal gitu!  

Tuesday, January 25, 2011

04.00 WIB


Terang-terangan aku katakan kalau aku benci suara jago berkumandang. Jika disuruh memilih, lebih baik serigala betina saja yang menjadi idolaku. Maka, jangan pernah datang pagi.

Muncul teori sendiri yang diracik dari sana dan sini, entahlah jadi apa.

Sastra adalah medium untuk memberikan instruksi secara langsung maupun tidak langsung untuk mengekspresikan dan mengomunikasikan pikiran, rasa atau cara berpikir dalam kehidupan dengan bentuk apa pun, bisa dengan tulisan, suara, gerak, garis, simbol, dan sebagainya, baik secara fakta (berdasarkan pengalaman hidup) maupun secara imajinasi atau perpaduan di antara keduanya.

Ini lah teori konyol saya yang sila untuk ditertawakan, saya pun tertawa!
Hahahahaha...

Tertanda: Prof. Yuni Zai. M. Hum., Ph. D (hah, ngarep aku!) Insya Allah!!
Pulpen saya tutup. Buku harian aku simpan. Tidur adalah memuakkan.

Monday, January 24, 2011

03.00 WIB


Ada Fira Basuki di atas mejaku. Biru dan Jendela-Jendela. Sedangkan yang Atap masih ada di kamar kekasih. Pintu? Aku belum punya. Kali ini aku ingin membaca Fira Basuki. Aku belum mengenal dia. Hanya sekedar tahu.

Berbicara dengan dia yang aku panggil "Mbak" sering disangka gila. Jika insomnia menari-nari di kelopak mata, aku cukup katakan, "Mbak, Yuni pengen tidur!"
Sekejap akan ada hembusan angin di wajahku dan sim..salabim..aku ngantuk!

Bisa jadi entah di malam kapan, "Mbak" sedang ingin bertukar rasa kepadaku. Dibuatnya aku tidak tidur tanpa aku tahu. Entah apa yang dia ceritakannya, semuanya hanya bisa diterjemahkan di dalam pikiranku. Aku pun tidak tahu di mana dia akan merebahkan tubuhnya. Dia mungkin tidur bersamaku sambil memelukku, tapi aku tidak tahu. Kalau aku tidak peduli kepadanya karena sedang menonton film, biasanya jari-jari tanganku di elus-elusnya. Dingin. Aku hanya bisa kaget dan langsung mengerti kalau dia sedang ingin bercerita. Lebih tepatnya, dia ingin mendengarkan aku bercerita. 

: malam ini aku tidak tahu dia akan tidur di kakiku atau di belakang kepalaku atau di samping tubuhku.

Sunday, January 23, 2011

02.00 WIB


Aku lihat dinding
: dia bernafas. dadanya kembang kempis.

Aku lihat kabel lampu
: badannya meliuk-liuk

Insomnia itu gampang dibagi. Tapi, lebih banyak diam jika ditanya sedang apa
Guling kanan, guling kiri.
Tapi, mata tetap meronda.

Tuhan, kalau aku panggil kamu malam-malam begini, kamu mau datang tidak?
Saya kesepian untuk berapa lama.
Aku ada cerita, mungkin sedikit jorok.
Tapi, tak apa jika aku bagi kepadamu.

Tuhan, setiap malam aku katakan aku ingin tidur.
Tiba-tiba, ada yang menyapu wajahku dengan sehelai selendang tipis
Entah berwarna apa.
Tak tampak olehku, Tuhan.
Sekejap, pandanganku gelap.
Aku tidur tanpa mendengkur, kata malaikat.

: Sekarang, aku sedang di...di mana ini?? Alam mimpi tidak punya garis lintang dan garis bujur ya, Tuhan?

Saturday, January 22, 2011

01.00 WIB


Mari kita ke dapur. Orang-orang sudah pada tidur.
: menanti sepi, perutku jadi lembur.
Dia sudah menungguku di meja makan. Mungkin wajahnya sedang tersenyum. Mungkin saja tidak. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya jika dia pun merasakan akan hadirnya aku di dekatnya. Tidak ada kesepakatan. Ini hanya inisiatif duga-dugaan yang menyenangkan.

Serigala betina sedang bernyanyi di ujung jalan sana. Aku masih saja diam menghadapi dia yang duduk di hadapanku. Sungguh, aku malu jika saat makan ada yang memperhatikan. Bisa-bisa sendok aku sangka ikan. 

"Mengapa kamu tidak tidur?"
"Untuk apa?"
"Untuk matamu yang sudah memerah, untuk tubuhmu yang sudah melemah, untuk otakmu yang sering mengalah, untuk pikiranmu yang selalu salah, untuk perasaanmu yang sulit untuk dicegah."
"Hahhh... Cuma karena itu?"
"Setidaknya jika kamu tidur, kamu akan kuajak bermain ke duniaku. Mau?"
"Lima suap lagi."

Aku anggap itu bukan pernyataan bahwa aku meng-iya-kan ajakannya. Lima suap lagi butuh waktu. Lima suap lagi butuh kemauan yang besar. Bahkan dengan lima suap lagi aku bisa memutuskan untuk berhenti makan atau terpaksa melanjutkan. Aku anggap ini hanya prediksi.
Jari-jarinya diketuk bergantian di atas meja seperti orang sedang mengetik. Aku tidak terganggu. Tapi, aku seperti membaca ketidaksabarannya di jari-jari itu. Dua sendok lagi dan akhirnya aku hentikan.

"Sudah selesai?"
"Kenyang."
"Sekarang sudah bisa aku ajak ke sana 'kan?"
"Belum."
"Lho?"
"Kamu saja duluan. Nanti aku menyusul."

Gontainya dia berjalan membuat aku biasa-biasa saja. Aku mau cuci muka dulu. Aku ke kamar mandi dan dia ke kamar. Sepertinya dia membanting pintu kamar. Aku mendengarnya di dalam hatiku. Sudahlah, dia mungkin sedang emosi saja.
Aku masuk ke dalam kamar dan dia tidak ada. Hanya ada bisikan-bisikan tak senyawa terbang-terbang dalam keremangan. Aku pun tidur setelah melewati lima menit masturbasi. 

"Selamat datang di dunia mata terpejam. Ini rumahmu. Dan ini teman-temanmu. Ayo maiiiiiiiiiiinnnn!!!!"

Thursday, January 20, 2011

00.00 WIB

Ini adalah pagi, yang sudah malam.
Bukan bagianku jika ingin berbagi cerita disamakan dengan berbagi suami. Kuhitung-hitung sudah hampir dua tahun kamu tidak mengatakan cinta lagi kepadaku. Mungkin ini salahku karena aku yang lari darimu.

3 x 3 sudah cukup untuk ukuran duniaku. Cukup dalam artian aku tidak akan meminta lebih dari tahu diriku.
Tidak gampang untuk bisa menerima kalau ternyata malam itu nyata. Dan, mengapa harus tidur?


Sudah kukatakan
: aku tidak ingin berbagi cerita itu disamakan dengan berbagi suami.
Aku akan bercerita. Pasti. Tapi, jangan sekarang.
Ada daging yang lain yang sedang menantiku di tempat tidur. Besok saja ya?