Showing posts with label cerita pendek-pendek. Show all posts
Showing posts with label cerita pendek-pendek. Show all posts

Wednesday, January 19, 2011

Jeduar..

Seberapa banyak manusia yang harus saya pelajari rahasianya yang tersembunyi di setiap garis wajah dan lubang pori-porinya? Seberapa sanggupkah saya membaca mereka dengan isi cerita yang naik turun bagaikan jalanan di puncak menuju Berastagi? Atau saya harus berpaling bagai pecundang? Atau mungkin tetap menerima bahwa itu adalah kenyataan dan bukan bisikan?

Friday, January 7, 2011

Rana

selanjutnya adalah Rana!

Rana itu sangat sederhana. Tidak peduli orang sudah di zaman apa, dia tetaplah Rana yang sederhana. Tolong carikan saya dia yang bernama Rana itu. Saya butuh dia. Mungkin sekarang dia sedang tercecer entah di badan jalan besar bagian mana. Beritahu saya jika sudah menemukan Rana atau rasa-rasanya bertemu atau melihat Rana. Saya tunggu.


Klik!

Wednesday, December 29, 2010

Mungkin saja itu mungkin


"Mungkin. Mungkin saja apa yang aku rasakan itu tidak mungkin. Tapi, aku yakin kalau rasa itu bisa saja menjadi mungkin. Rasa marahku yang selama ini mungkin karena mendengar bentakanmu, membuat aku menjadi bosan dan muak untuk terus-terusan berada di dekatmu. Mungkin saja aku yang ketus karena terbiasa oleh keseharianmu kepadaku yang juga ketus. Aku bosan. Sudah berulang kali aku katakan, mungkin dengan perginya aku dari hidupmu bisa membuat kamu senang. Mungkin aku pun akan lebih senang. Tapi, aku belum bisa pergi. Mungkin dua tahun lagi. Katakan kepadaku, apakah tidak mungkin suatu saat nanti kita tidak akan saling bicara. Aku percaya itu mungkin terjadi karena aku tidak suka berbicara denganmu lagi. Tidak mungkin kamu mencariku jika aku pergi. Tidak mungkin. Aku akan pergi untuk mendapatkan 'mungkin-mungkin'ku yang sudah kamu campakkan.."

sekelebat yang Hebat


Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu? Oh, bisa saja sayang. Bagaimana? Kamu tidak perlu berlari, hadapi saja.

Hari-hari dilewati dengan bisik sana bisik sini, baca ini baca itu, dengar ini dengar itu, dan..kamu. Oh, siapa yang peduli kalau aku selalu bersama kamu. Ternyata banyak yang peduli walau dengan ekspresi, "yeah..you always together!".

Dalam satu ruangan yang sama, kita mampu hanya diam-diam saja. Tanpa ada pertengkaran karena didiamkan. Kita mampu itu. Setelah beberapa lama baru kita tersadar kalau kamu dan aku masih bersama dalam satu ruangan. Hening.
Pada saat tidur, siapa yang bisa terlebih dahulu memejamkan mata dan langsung tak sadar karena sudah masuk ke alam mimpi, maka dialah pemenang. Tapi itu tidak terjadi di antara kita karena kita susah tidur bersama. Tidak ada yang mau memejamkan mata. Akhirnya, kita keluar dari kamar mencari perangsang tidur masing-masing.

Aku membuatmu minuman petang sebagai penghantar senja ke peraduan. Kuberi gelas minumanmu untukmu. Kuambil gelas minumanku untukku. Kita minum bersama. Menikmati minuman senja tanpa kata. Hanya desahan, "hmmm....nice!". Kemudian diam lagi seperti tidak terjadi apa-apa barusan.

Aku tidak suka menonton TV. Aku hanya duduk menghadapi TV yang sudah aku matikan. Tiba-tiba kamu datang memberiku kejutan. Kejutan sebuah senyuman yang hanya boleh untukku seorang. Kita duduk bersama menghadapi TV yang mati. Tapi pikiran dan perasaan kita tidak mati. Diam seribu bahasa padahal di dalam hati saling berkata.

"Jangan pernah pergi ya.."
"Iya."
"Aku sudah sembuh, beibh."
"Aku tau."
"Aku jadi hebat."
"Kamu memang hebat kok, tapi kamu baru taunya sekarang."


Diam lagi. Masih tetap bersama karena tidak akan ada lagi yang pergi.



---kebersamaan itu tidak akan pernah mati, katamu.

Suck it = Sakit ???

Apa judulnya? Tidak tau? Saya juga tidak tau. Tadi kenapa bilang tentang itu? Oh, cuma ingin tau saja. Saya belum menguasai yang bagian itu jadinya saya belum bisa cerita. Ah, yang benar? Masak iya sih? Bagus dong kalau memang faktanya begitu. Jarang-jarang lho ada yang seperti itu. Wah, kalau saya sih ambil yang hari Sabtu saja. Katanya ramai. 'Kan seru kalau ramai. Hahahaha.. Eh, tidak kok. Saya serius lho. Pasti aman-aman saja. Sudah diatur semuanya. Oh ya, bagaimana jadinya? Tentang besoklah. Oh bisa ya? Ok deh. Jangan lupa ya. Bye!

sendiri, itu maunya saya.


Saya ingin sendiri. Tidak bisa terus-terusan seperti ini hidup satu atap tapi saya selalu takut. Saya takut dengan kamu. Saya tidak nyaman dengan kamu. Makanya saya ingin lepas dari kamu.

Kalau sekarang ini saya sudah punya pegangan untuk bisa kabur, mungkin sekarang saya sudah kabur. Saya tidak peduli dosa dari kabur itu. Yang saya tau, saya harus lepas dari kamu karena kamu adalah penderitaan bagi saya.

Saya sudah capek hidup dengan kamu tanpa ada bahagia yang saya rasa. Saya paling benci kalau tertawa bersama denganmu. Itu bukan tawa abadi. Itu tawa untuk permulaan dari bencana di rumah ini. Lebih tepatnya, itu adalah sebagai pertanda.

Pusing saya menghadapi marahmu saat saya minta uang untuk kebutuhan saya. Tidak banyak yang saya minta. Hanya Rp. 50.000,- saja sudah membuat kamu menampar saya. Kalau memang tidak mau memberi ya sudah. Tapi, bukan berarti dengan menampar saya juga.

Saya kecewa dengan kamu. Entah untuk apa kita hidup bersama. Saya jadi semakin benci dengan kamu. Sangat benci. Apalagi jika melihat sandiwaramu di depan para tamu, bagaimana kamu menunjukkan kalau kamu begitu perhatian kepada saya bahkan suaramu pun lembut. Sangat jijik saya melihatnya. Ingin saya ludahi saja wajahmu yang penuh kemunafikan itu.

Saya pasti akan lepas darimu. Saya pasti akan pergi darimu. Saya pasti akan bisa merasakan kebahagiaan yang saya mau dengan kesendirian saya, bukan denganmu. Saya yakin saat itu pasti akan datang.

Monday, December 20, 2010

niskala

Hanya di ruangan ini dia bisa mendengarkan suara itu. Suara yang mampu membuat dia sadar kalau ternyata dia memiliki sisi keindahan dalam memikirkan sosok saya.

Saya pikir selama ini yang hanya dia pikirkan tentang saya adalah bagaimana caranya saya bisa mati seperti yang ada di khayalannya. Tapi, kali ini dia berusaha untuk memikirkan bagaimana tawanya saya di dalam khayalannya.

Gelengan kepala dengan gerak lambat sambil mengkhayalkan tawanya saya itu tiba-tiba berhenti.
Dia menatap lurus ke depan sementara suara-suara itu masuk ke dalam telinganya dan menjadi teman hidup untuk beberapa saat dan dia pun bernapas kembali lewat tangannya.

Tuesday, December 7, 2010

Cosmic realita

"Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali."

"Aku juga. Selagi aku bisa, mengapa kamu tidak berlari kepadaku saja terlebih dahulu? Aku tidak kejam. Aku menyayangimu."

"Izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis atau mimpi buruk. Tunggu aku!"

Kebenaran bukan pembenaran


Inilah saat di mana para pemodal menawarkan produk-produk mereka atas nama kesempurnaan ibadah dan kesempurnaan kemenangan Anda. Pada saat ini pula mereka dengan cara yang sangat meyakinkan mengukur persaudaraan dan ikatan silaturahmi Anda dengan sebotol sirup, sekaleng roti atau pun sepasang sandal. Mari kita rayakan kemenangan yang termediasi ini dengan onani rohani tanpa basa-basi...!!!

Begitu tulismu di dalam konsep orasi yang akan kamu bacakan besok pagi. Aku hanya geleng-geleng kepala saja dengan semua yang kamu lakukan. Yang aku tahu aku tidak perlu ikut campur untuk urusanmu yang tidak aku pahami.

"Jangan bengong saja. Perbanyak ini kemudian kamu tempelkan di tempat-tempat umum."

Aku manut saja. Aku hanya pembantu di rumah ini yang mengagumi kamu sebagai majikanku. Kamu tidak pernah memukuli aku dengan tangan hebatmu. Justru aku selalu ditampar oleh kata-katamu yang penghias neraka itu. Aku senang.

Aku bergegas melaksanakan perintahmu. Sementara kamu sudah siap dengan cerutu klasikmu. Maafkan aku yang tidak bisa menghitung berapa banyak asap yang sudah kamu hembuskan. Lain kali aku pasti bisa menghitungnya.

"Cepat kembali!! Jangan berlama-lama. Aku ingin kopi."

Kamu membutuhkanku, Lordas. Kataku di dalam hati.

***


"Ada apa, Lordas?"

"Besok kamu harus ikut aku."

"Kemana?"

"Ke jalan. Kita orasi."

Aku hanya tersenyum sementara kamu sudah memalingkan wajahmu ke tempat lain tanpa melihat senyumku terlebih dahulu.

***


"Sudahlah. Tidak perlu capek-capek orasi di jalanan sana. Toh pada akhirnya kebenaran sejati hanya ada di ujung pedang, pentungan atau pun pistol. Kita hanya perlu belajar berpedang, memukul dan menembak untuk membuktikan kebenaran!!! Sepertinya kita sudah hidup di zaman Yo Ko dan Kwee Cheng, di mana benar-salah dipastikan dengan kejujuran mata pedang."

"Lordas?? Kamu berubah pikiran?? Terserah kamu saja. Sudah aku katakan kalau aku tidak mau ikut campur untuk hal-hal yang tidak aku pahami."

Aku keluar dari ruanganmu. Kamu masih diam menghadap jalanan. Ingin ke sana kah kamu, Lordas? Di sini saja. Tidak perlu ke mana-mana (lagi).

Tetap begini


"Yang lalu biarlah berlalu, dengan atau tanpamu tetap saja langit membiru dan awan memutih dan bunga pun tak layu..." katamu.

"...dan aku akan tetap begini. Tidak ada yang berubah." lanjutku.


Kamu menoleh ke arahku dan kemudian tersenyum tanpa gigi.

Gelap di tempat yang gelap


"Daripada cemburu menguras hati, lebih baik berjibaku menguras bak di siang hari. Pas sekali dilakukan puasa-puasa begini."

Ekspresi kamu lucu. Tapi, kamu tidak memperhatikan itu. Ya, aku tau kamu memang sedang ingin sendiri tapi bukan berarti sampai melotot begitu mata kamu.

"Jangan lihat-lihat!" katamu.

Aku pun tertawa dan akhirnya memejamkan mata.

"Aku hanya bisa diam di sudut kamar yang sengaja aku cat hitam. Menangis tersedu seperti anak kecil. Makan cokelat sampai mulutku berlepotan. Aku rasa, aku butuh psikiater."

"Tidak. Kamu tidak butuh psikiater. Kamu hanya butuh aku. Coba kamu hitung ada berapa semut hitam yang merayap di dinding yang kamu cat hitam itu? Kamu bisa melihatnya?"

Kamu pun mulai mencari semut-semut itu. Bagitu semangat sampai akhirnya kamu mengatakan...

"Aku tidak menemukannya..."

Memang tidak bisa menemukan sesuatu yang gelap di tempat yang gelap.

Televisi


"Daripada bangun gedung DPR super mewah, mendingan...????"

Ah, kamu berbicara sendiri lagi dengan TV. Kamu larut dengan pemberitaan sana-sini tentang wakil-wakil rakyat yang berkhianat kepada rakyat. AKu tidak akan mengganggu kesenanganmu dengan tontonan itu.

"Kamu tidak berminat jadi seperti mereka, Bang?"

Kamu kaget aku bertanya begitu. Kamu tidak menjawab. Akhirnya aku pun pergi ke dapur untuk mengubur pengkhianatan dari lubang anus wakil rakyat ke dalam minyak jelanta.

"Aku juga mau katakan hapus saja tontonan KCB yang kekinian telah mendidik agar manusia negeri kita kembali ke liga kuno Mahapatih Majapahit."

"Aku benci TV, Bang!" Teriakku dari dapur dan kamu pun segera mematikan TV.

Aku "baik-baik" saja

"I'm OK..."

Kamu selalu berkata begitu. Aku tau apa yang kamu katakan adalah kebalikan dari yang sebenarnya kamu rasakan.

"Jika aku bilang aku tidak menangis, berarti aku sebenarnya menangis. Kamu paham, Karla?"

Aku hanya mengangguk pada saat itu. Kamu mengatakan itu kepadaku sambil menangis. Apakah aku harus menganggap bahwa pada saat itu kamu sedang tidak menangis?

"Karla, I'm Ok!"

Aku diam saja. Sementara kamu masih terus menangis. Aku tidak mengerti dengan kamu, Norha.

Tidak mau kalah


"Manusia, selalu ingin bermain tapi tidak mau kalah. Dan aku di dalamnya."

"Yah, dari dulu kamu sudah sering mengatakannya."

Mereka kemudian terdiam. Tenggelam dengan pikiran masing-masing yang tidak pernah diketahui satu sama lain. Malam memang semakin pekat. Diamnya mereka pun semakin melekat. Tiba-tiba...

"Aku mau tidur. Bosan."

"Tidur saja!"

Kalimat itu masih terngiang di telinganya Kana.

"Kok bisa ya Moja bilang begitu?"

Kana pun masuk dan akhirnya tidur.

Aku pun menangis

(Kamu pulang)

"Kamu sudah pulang? Aku dari tadi menunggumu."

Kamu menatapku heran dengan segudang penasaran. Tidak biasanya dia menungguku, mungkin begitu pikirmu. Tapi, aku memang sedang menunggumu. Bukan untuk melanjutkan "perang" di antara kita, hanya saja ini sesuatu yang sangat sensitif. Kamu masih mematung di depan pintu.

"Aku buatkan kopi ya?"

Aku berusaha mencairkan suasana. Kamu hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam kamar. Dari luar aku dengar pintu kamar kamu kunci dan aku pun menangis.

Saturday, December 4, 2010

mudik

"Kalau musim mudik begini banyak malaikat Izrail yang berdiri di pinggir jalan sedang menunggu giliran untuk mencabut nyawa manusia yang sudah ditentukan Tuhan", kata ibuku.

Wajah mereka ada yang bagus, ada juga yang menyeramkan. Tergantung dari manusia seperti apa yang akan dicabuti nyawanya. Aku melihat ada salah satu malaikat Izrail yang terus menatap ke arah kami. Aku bingung siapa yang dilihatnya. Wajahnya seram sekali. Sepertinya kami orang yang baik, tapi mengapa dia melihat ke arah kami? Ternyata ibu menyadari apa yang sedang aku lihat. Dia menyuruhku untuk tetap berdiri di pinggir jalan ini sementara dia berjalan ke tengah jalan. Ingin bunuh diri, katanya. Oh, ternyata malaikat Izrail itu sedang menunggu ibuku.

khayalan hebat kita


Aku mencintai kamu sebagai khayalanku sampai ke ujung kukumu dengan seluruh kekuatanku yang meresap tanpa terasa ke dalam ketakutanmu dan aku menikmatimu. Kita hebat, bukan?

"Kamu tak percaya kalau aku akan menikahi khayalanku? Datang saja besok. Akan aku tunjukkan siapa pasangan khayalanku. Aku yakin, saat kamu melihatnya, kamu pun akan berkhayal tentang pasanganku. Karena aku dan dia juga sedang berkhayal tentangmu."



Aku hanya khayalanmu dan kamu hanya khayalanku. Kita hebat, bukan? ..dan aku menikmati!

Manekin

Mata patung manekin itu menghadap ke arahmu. Matanya seperti sedang menunggu seseorang berharap kepadanya dari jarak dekat. Kali ini dia telanjang di dalam etalase tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara kamu hanya bisa menatapnya begitu saja. Seakan-akan apa yang dia rasakan bukanlah perasaanmu. Aku kasihan melihat dia yang terus berharap kepadamu yang tidak memperdulikannya. Aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk dia. Aku tidak tau harus melakukan apa. Akhirnya yang ada hanyalah diam. Memikirkan nasib karena ditelanjangi di dalam etalase dan orang-orang memperhatikan kita bertiga dengan tawa iblis mereka.